JANGAN MARAH, KAMU AKAN MASUK SURGA!

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullahu ta’ala

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580). Read more of this post

Pembantu Bukanlah Budak (http://www.rumaysho.com)

Seringkali kita mendengar kata budak atau hamba sahaya dalam Al Qur’an terjemahan. Dalam bahasa Arab disebut ‘abiid (العبيد) atau riqq (الرّقّ). Sebagian orang ada yang salah paham, dikira yang namanya budak atau hamba sahaya adalah pembantu rumah tangga. Sehingga jadi salah pemahaman setelah itu, dikarenakan yang namanya budak atau hamba sahaya bisa diperlakukan sebagaimana istri bahkan tidak perlu dengan jalan menikah (klik di sini). Namun sekali ini beda dengan pembantu rumah tangga. Berikut ulasan singkatnya.

Budak dinamakan ‘abiid (hamba sahaya) karena ia diperbudak oleh orang lain, yaitu majikannya (tuannya).

Bagaimana Cara Kepemilikan Budak?

Budak bisa dimiliki oleh seseorang dengan salah satu dari beberapa cara berikut: Read more of this post

Penyakit Syubhat Dan Syahwat

Oleh
Ustadz Muslim Atsari

Syaithan merupakan musuh nyata manusia. Dia selalu berusaha menjerumuskan manusia kedalam jurang kekafiran, kesesatan dan kemaksiatan. Di dalam menjalankan aksinya itu syaithan memiliki dua senjata ampuh yang telah banyak makan korban. Dua senjata itu adalah syubhat dan syahwat. Dua penyakit yang menyerang hati manusia dan merusakkan perilakunya.

Syubhat artinya samar, kabur, atau tidak jelas. Penyakit syubhat yang menimpa hati seseorang akan merusakkan ilmu dan keyakinannya. Sehingga jadilah “perkara ma’ruf menjadi samar dengan kemungkaran, maka orang tersebut tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Bahkan kemungkinan penyakit ini menguasainya sampai dia menyakini yang ma’ruf sebagai kemungkaran, yang mungkar sebagai yang ma’ruf, yang sunnah sebagai bid’ah, yang bid’ah sebagai sunnah, al-haq sebagai kebatilan, dan yang batil sebagai al-haq”. [Tazkiyatun Nufus, hal: 31, DR. Ahmad Farid]

Penyakit syubhat ini misalnya: keraguan, kemunafikan, bid’ah, kekafiran, dan kesesatan lainnya.

Syahwat artinya selera, nafsu, keinginan, atau kecintaan. Sedangkan fitnah syahwat (penyakit mengikuti syahwat) adalah mengikuti apa-apa yang disenangi oleh hati/nafsu yang keluar dari batasan syari’at.

Fitnah syahwat ini akan menyebabkan kerusakan niat, kehendak, dan perbuatan orang yang tertimpa penyakit ini.

Penyakit syahwat ini misalnya: rakus terhadap harta, tamak terhadap kekuasaan, ingin populer, mencari pujian, suka perkara-perkara keji, zina, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Read more of this post

Memahami Posisi Imam dan Ma’mum Dalam Shalat Berjamaah

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam. Ia dapat menjadi media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum Muslimin di rumah Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang tentunya membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas. Semua itu diperlukan, karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang jelas saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga saat melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin mengetahui tentang hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syariat. Read more of this post

Etika Amar Maruf Nahi Mungkar

Oleh :Syeikh Islam Ibnu Taimiyah -rahimuhullah –

(diambil dari majmu fatawa, jilid 14 hal : 479 – 483)

Alih Bahasa : Muhammad Elvi Syam. L.c.

Allah Taala yang Maha Tinggi dan Maha Besar berfirman: Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiada orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”. ( Q.S: 5;105 ),

Ayat ini tidak bermakna larangan atau perintah untuk meninggalkan amar maruf (kebaikan) dan nahi mungkar (kejelekan), sebagaimana yang terdapat dalam hadits masyhur di Kutubus Sunan, dari Abu Bakr As-Shidiq, (Ia) berkhutbah di atas mimbar Rasulullah saw dan berkata : ” Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menerapkannya bukan pada tempatnya, sungguh saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda :

Artinya : ” Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, kemudian tidak merubahnya, maka hampir-hampir Allah menimpakan azab dari-Nya kepada mereka semua”. (H.R. Ahmad dimusnadnya dari Abi Bakr, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Al Jami , no: 1974, juz; 1/ 398.)

Dan demikian juga dalam hadits Abi Tsalabah Al-Khusyani yang marfu (yang sampai ke Rasulullah ) dalam menafsirkan ayat ini :

Artinya:” Apabila kamu melihat kebakhilan yang ditaati, dan hawa nafsu yang dituruti, dan setiap orang yang memiliki pendapat taajub dengan pendapatnya,maka uruslah (sibuklah) dengan kepentingan dirimu sendiri” ( H.R. Tirmizi dari Abi salabah Al Khusyani, no 3058 ).

Hadits ini ditafsirkan oleh hadits Abi Said di kitab Muslim :

Artinya: “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan “. (H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)

Dan apabila ahli fujur (pelaku maksiat) kuat, sehingga mereka tidak lagi mau mendengarkan kebaikan, bahkan mereka menyakiti orang yang melarang kemungkaran, karena mereka itu telah dikuasai oleh rasa kikir dan hawa nafsu serta rasa sombong, maka pada keadaan seperti ini, merubah dengan lisanpun gugur dan yang tinggal merubah dengan hati.(assyuhhu) adalah rasa sangat ambisi yang mengakibatkan kepada kebakhilan dan kezoliman, yaitu menolak kebaikan dan membencinya. (alhawa al muttaba) hawa nafsu yang dituruti terwujud dalam keinginan terhadap keburukan dan mencintainya. (al ijab bir rayi) takjub (bangga) dengan pendapat sendiri yaitu (bangga) pada akal dan ilmu.

Maka (pada hadits di atas) Beliau saw telah menyebutkan rusak tiga kekuatan yaitu : ilmu, cinta dan benci. Sebagaimana dalam hadits lain : Artinya : ” Tiga hal yang mencelakakan; rasa kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan rasa takjub seseorang dengan dirinya sendiri” dan di hadapan tiga hal yang mencelakakan ini, terdapat tiga hal yang menyelamatkan :

Artinya: ” Rasa takut kepada Allah dalam keadaan sunyi dan keramaian, dan sikap sederhana di waktu miskin dan kaya dan berkata benar di waktu marah dan ridho ” ( H.R. Tharoni di Mujam Ausath dari Anas dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab Shohih Al-Jami, no : 3039, juz ; 1/ 583 ) Read more of this post

Do’a dan Dzikir Setelah Sholat Fardhu

Kita disunnahkan membaca Doa dan Dzikir setelah Sholat Fardhu, yaitu sebagai berikut:

1. Membaca:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

“Aku meminta ampunan kepada Allah (tiga kali). Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang selamat dari kejelekan-kejelekan, kekurangan-kekurangan dan kerusakan-kerusakan) dan dari-Mu as-salaam (keselamatan), Maha Berkah Engkau Wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Baik.” (HR. Muslim 1/414) Read more of this post

Bentuk – bentuk Witir dan

BENTUK-BENTUK WITIR DAN JUMLAH RAKA’ATNYA

Oleh

Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani.

Witir memiliki jumlah raka’at dan bentuk-bentuk yang bermacam-macam sebagai berikut :

[a]. Sebelas Raka’at, Dengan Salam Pada Setiap Dua Raka’at Dan Berwitir Satu Raka’at.

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang menceritakan : “Rasulullah biasanya shalat malam sebelas raka’at, berwitir dari shalat itu dengan satu raka’at” Dalam riwayat lain : “Rasulullah biasanya shalat antara usai shalat Isya –yakni yang disebut sebagai atamah- hingga fajar sebanyak sebelas raka’at, mengucapkan salam antara dua rak’aat, dan berwitir satu raka’at” [1]

[b]. Tigabelas Raka’at, Setiap Dua Raka’at Salam, Dan Berwitir Satu Raka’at

Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan cara shalat Nabi. Dalam hadits itu tercantum : “… Maka akupun berdiri di sebelah kiri beliau. Tiba-tiba beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan memegang telingaku serta memutar tubuhku hingga berada di sebelah kanannya, kemudian beliau shalat dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at dan dua raka’at, kemudian beliau melakukan witir, lalu berbaring hingga datang muadzin. Setelah muadzin datang, beliau bangkit dan shalat dua raka’at ringkas, kemudian baru beliau keluar menuju jama’ah dan shalat shubuh” [2]

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceritakan : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam tiga belas raka’at, kemudian baru keluar untuk shalat shubuh. [3]

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah berkata : “Aku betul-betul memperhatikan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari. Beliau shalat dua raka’at ringkas, kemudian shalat dua raka’at yang panjang sekali, panjang sekali, panjang sekali, kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian shalat lagi dua raka’at, juga tidak sepanjang dua raka’at yang sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at namun juga tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang dua raka’at sebelumnya. Kemudian baru beliau melakukan witir. Jumlah semuanya tiga belas raka’at” [4] Read more of this post